Sisi News

Sisi News – Trauma bonding merupakan fenomena yang tidak banyak dibicarakan, tetapi sangat mungkin terjadi dalam hubungan pacaran, terutama pada pasangan yang memiliki dinamika hubungan yang tidak sehat.

Istilah ini merujuk pada ikatan emosional yang terbentuk antara dua orang, di mana satu pihak mengalami kekerasan emosional, fisik, atau bahkan seksual, tetapi tetap merasa terikat kuat dengan pelaku.

Ironisnya, korban mungkin merasa sulit untuk keluar dari hubungan tersebut karena adanya perasaan keterikatan yang intens.

Apa Itu Trauma Bonding?

Trauma bonding terjadi ketika korban membentuk ikatan emosional yang kuat dengan pelaku kekerasan. Hal ini bisa terjadi karena adanya siklus kekerasan yang diselingi dengan periode ‘perdamaian’ atau kasih sayang yang intens.

Korban merasa bahwa pelaku adalah satu-satunya orang yang dapat memberikan cinta atau perhatian yang mereka inginkan, meskipun kenyataannya pelaku juga menjadi sumber dari trauma mereka. Kondisi ini mirip dengan Stockholm syndrome, di mana korban penculikan atau penyanderaan mengembangkan perasaan positif terhadap pelaku.

Trauma bonding sering kali terjadi dalam hubungan yang secara emosional tidak stabil. Pihak yang menjadi korban kerap kali diombang-ambingkan antara perlakuan buruk dan tindakan manis dari pelaku, yang secara perlahan menanamkan perasaan terikat dan ketergantungan.

Ada beberapa tanda yang bisa menjadi indikasi adanya trauma bonding dalam sebuah hubungan pacaran:

1. Siklus Kekerasan dan Perdamaian

Hubungan sering kali dipenuhi oleh siklus pertengkaran, kekerasan, atau perlakuan buruk, diikuti oleh periode-periode pendek yang penuh dengan kasih sayang dan permintaan maaf.

2. Ketergantungan Emosional

Korban merasa tidak bisa hidup tanpa pelaku, bahkan ketika mereka sadar bahwa hubungan tersebut merugikan mereka secara emosional atau fisik.

3. Pembelaan terhadap Pelaku

Korban cenderung membela pelaku meskipun teman atau keluarga sudah menunjukkan kekerasan atau manipulasi yang dilakukan oleh pelaku.

4. Perasaan Bersalah

Korban sering kali merasa bersalah atau bertanggung jawab atas perlakuan buruk yang mereka terima, berpikir bahwa mereka telah melakukan sesuatu yang salah untuk memicu tindakan pelaku.

Mengapa Trauma Bonding Terjadi?

Trauma bonding sering kali terjadi karena adanya dinamika kekuasaan yang tidak seimbang dalam hubungan. Pelaku kekerasan biasanya menggunakan taktik manipulatif untuk mengendalikan korban, seperti gaslighting, pemutusan akses ke dukungan eksternal, dan penyalahgunaan emosional. Korban mungkin merasa bahwa mereka tidak memiliki pilihan lain selain tetap bertahan dalam hubungan tersebut.

Dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh Psychology Today, dijelaskan bahwa trauma bonding juga bisa diperkuat oleh faktor biologis.

Setiap kali siklus kekerasan diikuti oleh periode kasih sayang, otak korban melepaskan hormon dopamin yang menciptakan perasaan senang dan ketergantungan pada pelaku. Hal ini menciptakan pola kebiasaan yang sulit dihilangkan, mirip dengan kecanduan.

Cara Mengatasi Trauma Bonding

Mengatasi trauma bonding memerlukan kesadaran dan dukungan yang kuat. Langkah pertama adalah mengakui bahwa ada masalah dalam hubungan. Mencari dukungan dari teman, keluarga, atau profesional seperti psikolog atau konselor juga sangat penting.

Korban harus mencoba untuk memutus siklus kekerasan dengan mencari bantuan eksternal. Terapi kognitif-behavioral (CBT) sering kali efektif dalam membantu korban memahami dan mengatasi pola pikir yang salah yang memperkuat trauma bonding.

Dukungan dari kelompok dukungan atau terapi kelompok juga bisa memberikan ruang aman bagi korban untuk berbagi pengalaman dan membangun kembali kepercayaan diri mereka.

Trauma bonding merupakan fenomena yang berbahaya dalam hubungan pacaran dan dapat menyebabkan kerusakan emosional yang mendalam bagi korban.

Penting untuk mengenali tanda-tanda trauma bonding dan mengambil langkah untuk mengatasinya. Dengan dukungan yang tepat, korban bisa memutus ikatan yang tidak sehat dan memulai perjalanan penyembuhan.